Sembilu

Lagi-lagi saya membuat sebuah cerpen berdasarkan gambar yang dibikin Ana. Rupanya kunjungan dia ke pameran lukisan beberapa waktu silam memberinya ide. Jika biasanya sebuah gambar dibuat berdasarkan cerita, bagaimana jika metodenya dibalik. Membuat cerita berdasarkan gambar.

Cita-cita Ana sih, ingin jadi designer untuk cover buku. Dan impian saya, semoga nanti Ana bisa menjadi ilustrator saya. Kami memang partner yang serasi.





Dia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Dia tidak dapat mengingat apa yang terjadi, dia hanya melihat sekilas wajah suster yang menusuk lengannya dan mengambil darahnya. Dia hanya diam saja. Menggigit kuat bibirnya. Remuk. Seperti tertusuk duri. Sakit. Berkali-kali ditancapkan di hatinya. Dia pasrah. Separuh dalam dirinya merasa bersalah, yang lain berbisik, "Kau benar, dia pantas menerimanya".

Dia pantas menerimanya. Meski harus menjadi iblis. Dia memang pantas menerimanya. Meski belakangan Ajeng menyebutnya sadis. Memanggilnya psikopat berdarah dingin. Benarkah dia pantas menerimanya? Bukan. Dirinya bukan iblis. Dia dipaksa menjadi iblis. Iblis yang tega mengusir dia dan Ibunya dari rumah. Meski Ibunya dalam kondisi hamil besar. Dia hanya gadis kecil bersama seorang wanita hamil. Berkeliaran tengah malam mencari tempat berteduh.

"Baru pulang Nduk?" suara seraknya terdengar mengerikan, ditambah suasana malam yang tenang. Tanpa menghiraukan bahkan tak sudi menoleh ke arah datangnya suara. Dia melenggang masuk ke kamarnya. Rasa bersalah hinggap begitu dia sampai di kamarnya.

Gusti, dosakah? Gumamnya. Perih. Seperti ribuan sembilu menyayat dadanya. Sorot mata yang mulai pudar. Dia tidak sanggup menangkapnya lama-lama. Dia tidak boleh menatap matanya. Dia tidak boleh merasa kasihan. Dia tidak boleh kalah. Selalu seperti ini. Seperti dua kekuatan yang mencoba menguasai tubuhnya. Dua kekuatan yang sangat berbeda. Dua kekuatan yang bertolak belakang. Dan dia seperti berdiri di bibir jurang. Dua kekuatan yang membuatnya lupa siapa dirinya. Pertanyaan itu yang selalu dia lontarkan setiap hari.

Bukan hanya dia. Ibu dan Ajeng pun merasakan hal sama. Tidak menemukan dia seperti dahulu kala.

"Apa apa denganmu? Kenapa kamu bisa seperti ini? Benarkah kamu putri Ibu?"

"Mbak Dewi jahat. Mbak ndak punya perasaan."

Kenapa? Kenapa dia jadi seperti ini? Dia bukan tidak tahu. Dia hanya menampilkan emosi datar dengan tatapan kosong yang hampa. Kenapa hidupnya menjadi hampa?


Sabtu sore dia yang baru pulang dari sekolah mendapati tamu yang tak asing di rumahnya. Duduk lemah di atas kursi roda. Tubuh yang hanya tinggal tulang terbungkus kulit kisut. Orang itu tersenyum kearahnya. Senyum dari wajah yang sama. Mata yang sama. Mata yang terakhir dia lihat bertahun-tahun lalu.

"Beliau sudah ndak punya siapa- siapa lagi. Cuma kita keluarganya," bujuk Ibu.

"Apapun alasannya Dewi tidak setuju dia tinggal di sini."

"Tapi beliau sedang sakit. Apa kamu tega?"

"Belajarlah dari dia! Dulu dia tega membuang kita."

"Lupakanlah semua jangan menanam dendam."

Mungkin Ibu telah melupakan kejadian itu dan berhasil memaafkan. Tapi tidak dengan dirinya. Dia masih mengingat sorot matanya. Tak ada belas kasih di sana. Dia lemparkan puterinya yang tengah hamil tua bersama cucu perempuannya yang masih berusia sepuluh tahun. Lelaki tua itu tak mau menerima puterinya yang lebih memilih menikah dengan pria lain daripada menuruti kehendak sang ayah yang menginginkan putrinya menikah dengan pria pilihannya. Yang tentu saja materi menjadi pertimbangannya. Ketika ayahnya meninggal, satu-satunya tempat yang menjadiharapan justru menghancurkan mereka. Membuang mereka seperti hama. Setelah bertahun-tahun berlalu. Setelah mereka berhasil bangkit dan memperbaiki hidup. Dia datang. Menuntut belas kasihan. Ibu dan Ajeng menerima kehadiran sang kakek dengan tangan gembira dan terbuka. Kecuali dia yang masih tidak mampu menanggalkan bayang kelam malam itu. Maka dia putuskan untuk sebisa mungkin tidak berinteraksi dengan kakek. Menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan di kampusnya. Pergi pagi dan pulang ketika larut malam.

Dia bangun benteng di tebing hatinya. Menutup rapat-rapat pintu maaf. Bersikap sedingin es dan keras bak karang di lautan. Dia akan tetap diam meski kakek memanggilnya. Dia akan berlalu ketika kakek mengajaknya bicara. Bahkan dia tidak peduli sekalipun kakek tersungkur mencium lantai. Terjatuh dari kursi rodanya. Yang membuat dia mendapat julukan 'psikopat sadis' dari Ajeng. Darimana gadis berusia sepuluh tahun mendapat istilah semacam itu?
Dia bisa mengerti, Ajeng tidak berada pada posisinya saat malam itu. Masih berupa janin yang berada dalam perut. Ibu. Dia tak akan mengerti apa yang dirasakannya. Dia juga tidak akan pernah tahu alasannya tetap diam.

***



"Ngelamun terus," suara itu membuatnya memalingkan kepala ke sebelah kirinya, tepat di depan wajah Dinda, "Ngelamunin apa sih?" tambahnya.

"Siapa yang ngelamun?"

Dinda adalah teman baiknya dari semasa SMA. Hanya Dinda sosok penghibur yang membikin perutnya sakit dengan canda segarnya. Hanya Dinda yang mampu membuatnya kembali tertawa. Tetapi seperti halnya Ibu dan Ajeng. Winda pun merasakan perubahan luar biasa terhadap dirinya. Lebih sering diam. Murung. Seperti tidak lagi bernyawa. Tubuhnya bagai mayat hidup yang berjalan kesana-kemari. Tidak tahu kapan harus berhenti.

Dinda selalu mengingatkannya, "Dendam itu seperti duri. Tertusuk sakit. Dicabut meninggalkan luka. Jangan mendendam Dewi. Maafkan apa yang sudah terjadi".

Seandainya kata maaf semudah seperti mereka mengucapkannya. Dia tidak sanggup menatap mata kakek. Mengingat sakit. Membuatnya semakin sulit memaafkan. Yang dia butuhkan hanya jauh. Dia mau kakek pergi. Mati sajalah. Baru dia bisa memaafkannya.

Astagfirulah... Desahnya dalah hati.

Dia menghentikan langkahnya. Berdiri mematung di anak tangga. Dia mengedarkan pandangan ke arah pelataran kampus yang mulai ramai. Sama seperti dirinya mereka pasti hendak menuju papan pengumuman mencari tahu kalau-kalau ada nilai yang sudah keluar.

Belum lagi dia memijakkan kaki, gerakan tubuhnya terhenti ketika suara ponsel berdering dari dalam tasnya.

"Assalamualaikum."

"Waallaikumsallam. Dewi cepat ke rumah sakit Sekarang!"

"Ada apa Bu?"

"Kakekmu."

Tanpa berpikir dua kali dia bergegas menuju rumah sakit. Ibu dan Ajeng langsung menyambutnya begitu dia tiba.

"Kakekmu jatuh dari kursi roda. Kepalanya terbentur lantai," ujar Ibu dengan panik dan suara bergetar. Ngeri. "Kali ini Ibu mohon. Bantu kakekmu."

Ibu menangis. Memohon. Memeluknya berulang-kali. Seolah dia tak punya hati. Selama ini dia memang menampilkan kebencian. Memperlihatkan sosok iblis. Manusia tak punya hati yang tak mampu memaafkan kakeknya sendiri. Jiwanya hampa. Kosong. Jauh masuk ke dalam hingga tak terlihat lagi. Dan dia jadi seperti zombie.

Berkali-kali dia bertanya pada dirinya sendiri. Haruskah dia memaafkan?

‘Tidak. Dia tidak pantas dimaafkan.’

‘Tetapi. walau bagaimanapun beliau adalah kakekmu.’

‘Tidak. Jangan jadi lemah. Dia juga harus rasakan sakitmu.’

Bisikan-bisikan itu terus memenuhi kepalanya. Rasanya mau pecah. Berusaha menguasainya. Mengambil kendali. Dia kira akan bahagia melihat orang yang paling dia benci terluka. Tapi rasanya seperti ada ribuan sembilu menusuk hatinya. Sakit. Kenapa memaafkan jadi sesakit ini.

***


Jangan dipaksakan. Mbak istirahat saja dulu," seorang perawat menahan tubuhnya dan membaringkannya lagi di tempat tidur.

Beberapa saat kemudian Ibu masuk dan menghampirinya yang masih terbaring lemah.

“Terimakasih," Ibu mengusap lengan kirinya yang terbalut plester.

"Bagaimana keadaannya?"

"Alhamdulillah kakekmu sudah siuman. Beliau ingin ketemu kamu."

Siapkah dia melihat wajahnya? Bisakah dia hapus luka dan memaafkannya? Tidak akan terjadi selama dia masih mendapati mata itu.

"Nduk?" suara Ibu menuntut jawaban.

"Nanti saja. Aku masih pusing. Aku mau istirahat dulu," dia memalingkan pandangannya. Tidak sanggup menatap wajah Ibu. Dia tidak peduli meski dianggap tak punya hati, psikopat sadis atau apapun itu. Sorot matanya yang kosong seperti hanya ada dendam di dalamnya. Dia tidak peduli meski disalah pahami. Pergulatan dalam dirinya cukup melelahkan. Dia hanya butuh waktu sebentar lagi. Tinggal sedikit lagi untuk mendorong salah satu dari mereka ke jurang.



6 comments:

  1. Dendan dan sakit telah menyatu dalam jiwanya sehingga tak bisa memaafkan kakeknya sendiri.

    Begitupun sang kakek yang mementingkan egonya di masa dulu. Akhirnya menyimpan luka di hati sang cucu.

    ReplyDelete
  2. Ceritanya g kalah sama yang d senetron2.
    Bgus bnget.

    ReplyDelete
  3. Kebencian jika sudah tertanam akan sulit untuk dicabut.
    Nice story kak

    ReplyDelete
  4. Suka nih Mbak, duh akhiranna gapernah ketebak deh

    ReplyDelete

Apa pendapatmu tentang artikel di atas? Jangan lupa tinggalkan jejak!